Bung Tomo - Tokoh Penting Peristiwa 10 November 1945

Pergolakan perang dunia II tidak hanya berlangsung di Negara-negara yang terlibat langsung di dalamnya, namun juga dirasakan di dalam setiap wilayah jajahannya. Dalam masa itu kawasan-kawasan yang telah lama dijajah mulai bergerak berjuang demi meraih kemerdekaan, termasuk Indonesia. Perang Dunia mulai mulai memasuki masa akhir ditandai dengan begitu besarnya gelombang kemerdekan Negara-negara dunia ketiga di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Pada masa inilah muncul sejumlah tokoh yang mempunyai kemampuan tinggi dalam hal orasi dalam menggalang kekuatan dan membangkitkan semangat massa. Di Indonesia sendiri, muncul tokoh utama semacam itu, ialah Bung Karno dan Bung Tomo. Meskipun periode munculnya Bung Tomo relatif pendek, yakni sekitar peristiwa heroik di Surabaya tahun 1945.


biografi-bung-tomo
Bung Tomo kala orasi dalam menyambut kedatangan sekutu ke Surabaya

Biografi Bung Tomo (1920-1981)


Soetomo, lahir di Surabaya, 3 Oktober 1920 tepatnya di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, dan ibunya adalah perempuan berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda dan Madura. Soetomo sejak kecil sudah terbiasa berbicara degan terus terang dan penuh dengan semangat. Soetomo selalu bekerja dengan keras untuk memperbaiki keadaan. Ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO pada usia 12 tahun. Soetomo hingga berjuang melakukan pekerjaan kecil-kecilan demi mengatasi dampak yang terjadi akibat depresi yang melanda dunia saat itu. 

Soetomo menyelesaikan pendidikan HBS-nya via korespondensi, namun tidak pernah dianggap lulus secara resmi. Soetomo juga pernah mencari ilmu di KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Soetomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis, merupakan pengganti yang tepat bagi pendidikan formalnya. Ia kemudian menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda, hal ini dia capai ketika usianya baru menginjak 17 tahun. Yang mengagumkan sebelum masa pendudukan Jepang, peringkat ini hanya bisa dicapai oleh tiga orang Indonesia. 

Soetomo juga pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses, ketika bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan social. Soetomo juga menjadi anggota dari Gerakan Rakyat Baru yang disponsori oleh Jepang pada tahun 1944. Semua itu mempersiapkan Soetomo dalam menjalani perannya yang sangat penting dalam membangkitkan semangat rakyat ketika saat itu Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA yang membonceng sekutu pada bulan Oktober dan November 1945. Kejadian ini dicacat sebagai sebuah peristiwa heroik dalam sejarah Indonesia, meskipun pada akhirnya pemuda terdesak mundur dalam pertempuran 10 November itu. 

Di bawah komando Letnan Jendral Christison, tentara Inggris mendarat di Jakarta pada tanggal 15 September 1945 dan kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia dengan tujuan melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya atas keputusan dan atas nama Sekutu. Jepang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kembali ke jajahan Belanda. Namun saat itu NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pun ikut membonceng. Sehingga hal itulah yang membuat kemarahan rakyat Indonesia ada di mana-mana. 

Dikibarkannya bendera Belanda, Merah-Putih-Biru di Hotel Yamato melahirkan insiden Tunjungan yang kemudian menyulut bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat. Bentrokan itu memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby pada 30 Oktober. Kemudian pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Mansergh, mengeluarkan ultimatum yang menghina pejuang dan rakyat Indonesia pada umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi pada tanggal 10 November 1945.

Pada tanggal 10 November 1945 ultimatum itu ditolak, sehingga tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar nan dahsyat. Dengan mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang dan sejumlah besar meriam, tank, serta kapal perang. Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki meriam dari laut dan darat secara membabi buta. Ratusan bahkan ribuan penduduk menjadi korban, diantaranya ada yang meninggal dan banyak yang terluka. Namun dengan bantuan dari penduduk, para pejuang juga memberikan perlawan yang tersebar di seluruh kota.

Dengan mengerahkan persenjataan yang lengkap dan modern, pihak Inggris mengira perlawan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja. Namun ternyata perlawan itu berlangsung cukup lama, berlangsung sampai berhari-hari dan bahkan berminggu-minggu. Perlawanan yang semula dilakukan secara spontan dan tidak terkoodinir, makin lama makin terkoodinir dan teratur. Pertempuran besar ini berlangsung selama kurang lebih satu bulan, sampai akhirnya seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris. Peristiwa berdarah di Surabaya saat ini juga menggerakkan perlawanan seluruh rakyat Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Kemudian hari itu (10 November 1945) ditetapkan menjadi hari Pahlawan demi menghormati banyaknya orang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban.

Setelah masa revolusi, Soetomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950-an, namun hanya sesaat. Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Soeharto yang ada awalnya ia dukung. Soetomo kemudian kembali muncul sebagai tokoh nasional. Hingga pada awal dekade 1970-an Soetmo kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Ia kemudian ditahan pada 11 April 1978 akibat menentang keras program-program Soeharto. Pada tanggal 7 Oktober 1981, Soetomo wafat di Mekkah ketika sedang menunaikan ibadah haji dan dimakamkan di Surabaya.

Berkat jasanya dalam membangkitkan semangat rakyat melawan penjajah Belanda pada pertempuran puncak 10 November 1945, Soetomo kemudian lebih dikenal dengan nama Bung Tomo. Namun, ironisnya status kepahlawanan Bung Tomo sampai sekarang belum diakui secara resmi oleh pemerintah RI. Pidatonya yang akan selalu dikenang dalam siaran Radio menyongsong Sekutu ke Surabaya, 9 November 1945 yaitu :
“Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka…Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka”.

Salam, def+

loading...

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Bung Tomo - Tokoh Penting Peristiwa 10 November 1945 "