Tjut Nja’ Dien – Panglima Perang Wanita Dan Pemimpin Besar Aceh

Biografi Tjut Nja’ Dien

Masa Hidup : 1848 (tanggal tidak diketahui) – 8 November 1908
Tempat Lahir : Lampadang, Aceh
Temapat Wafat : Sumedang, Jawa Barat
Terkenal Sebagai : Pahlawan kemerdekaan, palima besar dan pemimpin besar Aceh

Dimasa penjajahan Belanda Aceh merupakan daerah yang selalu memberkan perlawanan sengit guna merebut kemerdekaan. Jiwa pejuang rakyat Aceh yang tak rela daerahnya dijajah, banyak memunculkan nama-nama besar yang sekarang kita kenal sebagai pahlawan kemerdekaan. Tak hanya kaum laki-laki saja yang turun ke medan perang, dari kaum perempuan muncul sosok Tjut Nja’ Dien, pahlawan yang mempunyai sifat keteladanan , ketabahan, dan kepemimpinan sebagai pejuang. Ia menjadi sosok yang paling menonjol dalam perang yang dikobarkan rakyat Aceh terhadap Belanda.
Tjut Nja’ Dien – Panglima Perang Wanita Dan Pemimpin Besar Aceh
Tjut Nja’ Dien – Panglima Perang Wanita Dan Pemimpin Besar Aceh
Dalam catatan sejarah Tjut Nja’ Dien dan Pangeran Diponegoro adalah dua tokoh yang paling  banyak menguras kekuatan militer VOC, sekaligus benar-benar mengosongkan bahkan menjebol keuangan VOC, sehingga ahirnya VOC terjerat segunung utang yang takterbayar dan ahirnya gulung tikar, hingga terpaksa menyerahkan kekuasaannya atas Nusantara kepada pemerintah Belanda.  

Tjut Nja’ Dien adalah putri dari Teuku Nanta Setia, panglima atau uleebalang VI Mukim, sedangkan ibunya putri uleebalang Lampagar. Sebgai puti seorang bangsawan Tjut Nja’ Dien dididik secara ketat di Madrasah maupun di rumah. Ia tak hanya belajar ketrmpilan khas perempuan, namun secara langsung maupun tak langsung ia belajar ilmu berperang sejak kecil, karena keluarganya adalah para panglima perang.

Kumpulan Fakta Mengenai Tjut Nja’ Dien

  • Tjut Nja’ Dien dikisahakan sebagai perempuan berhati keras. Ketika ayah dan kedua suaminya tewas dalam perang, ia menolak menangis dan melarang keuarganya bersedih. Ketika tahlil masih berlangsung pada saat Teuku Umar gugur Tjut Nja’ Dien mengemasi rencong dan senjata – senjatanya, dan meningalkan rumah malam itu juga untuk memimpin pasukan menggantikan suaminya.
  • Tjut Nja’ Dien memang terkenal dengan ketabahan nya yang luar biasa, dalam usia lanjut, lumpuh, buta dan kelaparan ia terus berperang. Ia menyabetkan rencong ke kanan – kiri dan memaki tentara Belanda agar menembaknya. Ia di usung tanpa dilucuti karena tiadak ada tentara belanda yang berani mendekatinya. Sejumlah bambu yang panjang di susun guna mengusungnya dan tidak terlalu dekat dengan pengusungnya. Rencong baru dapat diambil setelah ia dibiarkan selama sekian jam hingga jatuh tertudur karena kelelahan.
  • Film Tjut Nja’ Dien yang dibitangi Christine Hakim menjadi salah satu film terbaik Indonesia sepajang masa.     

Pada tanggal 26 Maret 1872, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh, Belanda mulai melepaskan meriam sehingga pecahlah perang Aceh yang berlangsung  selama 35 tahun. Pada periode pertama 1972 – 1974, para pejuang Ceh dipimpin oleh Sultan Machmud Syah dan panglima Polim, sedangkan pihak Belanda dipimpin oleh Jendral Jan Kohler yang membawa 3198 prajurit dan sejumlah meriam. Perang periode pertama ini berlangsung singkat, dan kemenangan diraih pihak Aceh. Pada tanggal 8 April 1973, Belanda mendarat di pantai Ceureumen dibawah pimpinan Kohler, dan mereka membakar Masjid Raya Baiturrahman yang membuat para pejuang Aceh geram. Ketika itu perang terjadi dan pihak kesultanan Aceh berhasil mengalahkan Belanda bahkan Kohler terbunuh dalam perang tersebut.

Pada tahun 1874 Belanda dengan pasukan besar kembali datang ke Aceh diawah pimpinan Jendaral Van Swieten. Pada perang periode kedua yang terjadi sampai 1880, Belanda dapat menduduki daerah VI Mukim pada tahun 1873, sehingga keluarga Tjut Nja’ tercerai –berai. Istana Sultan pun jatuh ketanggan Belanda pada tahun 1874. Dan pada saat itu pula suami pertama Tjut Nja’ tewas ketika bertempur di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini yang membangkitkan amarah Tjut Nja’ sehingga ia meninggalkan pengungsian untuk bertempur. Tjut Nja’ memimpin pasukan perempuan Aceh yang di kenal dengan nama Inong balee. Meski pasukan yang di pimpin Tjut Nja’ ber anggotakan perempuan namun mereka mampu berperang seperti pria, bahkan mereka bisa mengalahkan pasukan berkuda elit Belanda Morsose yang dikenal kejam. Praktek bumi hangus yang diterapkan Belanda memaksa pihak Aceh bergerilya sejak tahun 1875, karena pihak Belanda lebih unggul dalam urusan senjata.

Pada tahun 1880 Tjut Nja’ menikah lagi dengan Teuku Umar, salah satu panglima perang Aceh yang masih bertahan. Pada masa itu pasukan Belanda sudah merasa menang karena kesultanan Aceh secara resmi sudah dibubarkan, dan panglima Polim sudah terdesak. Hal ini mengakibatkan kekuasaan di Aceh beralih dari kesultanan ke para bangsawan dan panglima perang dilapangan. Kemudian Belanda menerapkan praktik suap besar – besaran guna membujuk para bangsawan dan pejuang untuk meletakkan senjata. Dan atas nasehat Snouck Hourgronje, Belanda juga berusaha untuk tidak menghancurka masjid dan madrasah guna mencegah militansi masyarakat Aceh.
Teuku Umar panglima besar Aceh dan suami Tjut Nja' Dien
Teuku Umar panglima besar Aceh dan suami Tjut Nja' Dien
Pihak Belanda merasa senang karena sebagian besar panglima menyatakan kerjasa. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar yang memimpin pasukan terbesar pergi ke Kutaraja guna menyerahkan diri kepada Belanda dengan membawa 250 prajuritnya, untuk berpura – pura mau bekerja sama dengan pihak Belanda. Bahkan ia bersedia membantu pihak Belanda kalau mereka diberi persenjataan yang cukup. Teuku Umar kemudian diangkat sebagai komandan pasukan dengan gelar Teuku Johan Pahlawan, lengkap dengan semua peralatan militernya.

Berpihak nya Teuku Umar kepada Belanda merupakan upaya yang dilakukan untuk mendapat tambahan senjata dan perbekalan, yang sangat dirahasiakan sehingga Teuku Umar dikecam oleh istrinya sendiri Tjut Nja’ yang tak tahan dimaki sebagai penghianat oleh pajuang lain. Di masa ini hubungan Tjut Nja’ Dien dan tokoh pejunga perempuan lain nya Tjut Nja’ Meutia bahkan sempat rusak. Namun setelah Teuku Umar mendapatkan cukup emas, senjata termasuk beberapa meriam dan perbekalan mereka kembali ke huatan guna meneruskan gerilya.

Insiden pengianatan Teuku Umar yang di kenal dengan “het verraad van Teukoe Oemar” sangat memalukan bagi pihak Belanda sehingga Jendral Van Swieten di pecat dan diganti dengan Jendral Van Der Hayden yang terkenal bengis. Taktik tebang habis yang diterapkan Hayden merupakan taktik terkejam yang pernah diterapkan Belanda kepada rakyat Aceh, pasalnya mereka membantai semua penduduk setipa desa yang mereka lewati tak terkecuali perempuan dan anak – anak. Kekejaman yang di praktekkan Hayden membuat militansi rakyat Aceh bangkit hingga meletus perang Aceh ke tiga, hal ini yang membuat  Hayden dipecat dan digantikan dengan Jendral Van Heutz.

Heutz yang kembali menerapkan taktik suap, berhasil mencium rancana Teuku Umar yang akan menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Febuari 1899. Pasukan kusus berpeluru emas disiapkan (kononTeuku Umar tidak mempan peluru biasa) dan Teuku Umar gugur di peperangan Meuleboh. Taktik hujan suap semakin menyusutkan jumlah pasukan yang bergerilya di hutan, namun Tjut Nja’ masih memimpin pasukan yang pada tahun 1901 tinggal beberapa puluh orang saja.

Kondisi di medan perang membuat  kesehatan Tjut Nja’ merosot, sehingga tangan kanannya, Pang Laot Ali yang merasa kasihan justru membocorka posisi pasukannya kepada pihak Belanda yang kemudian mengepung pasukan Tjut Nja’ Dien di Beutong Le Segeu. Pernag berlangsung habis – habisan dan hamper seluruh pasukan, bahkan pengawal pribadi Tjut Nja’ Dien , Pang  Karim tewas. Tjut Gambang yang berhasil lolos terus berperang sampai seluruh pasukan nya tercerai – berai setelah nantinya mendengan bahwa Tjut Nja’ Dien wafat dipengasingan.

“ Hanya dua perkara buatku mengaso : kepe – kepe budo’ itu angkat kaki, atau Tjut Nja’ sahid hari ini “
                                                                   Jawaban Tjut Nja’ Dien ketika diminta beristirahat


Tjut Nja’ Dien yang sudah buta dan tidak bisa lagi bertempur sehingga ia di tangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia kemudian dibawa ke Sumedang dan identitasnya dirahasiakan karena kawatir akan membangkitkan semangat perjuangan. Sampai akir hanyatnya Masyarakat Sumedang tidak tau sipa sebenarnya Tjut Nja’ Dien yang mereka sebut sebagai “Ibu Perbu” (Ratu). Rahasia itu tersimpan begitu rapat, karena Tjut Nja’ Dien tidak didampingi siapapun sehingga ia hanya bisa berkomunikasi secara terbatas dengan bahasa Arab. Selama di tahan Tjut Nja’ mengajar Al – Qur’an di Sumedang sampai pada wafatnya tanggal 8 November 1908. Tjut Nja’ Dien merupakan sosok perempuan perkasa yang tak mengenal dominasi laki-laki dari bangsa manapun.              
loading...

Postingan terkait:

3 Tanggapan untuk "Tjut Nja’ Dien – Panglima Perang Wanita Dan Pemimpin Besar Aceh"